"Konsep manajemen kinerja apa yang seharusnya saya terapkan di perusahaan?" Pertanyaan tersebut sering diajukan oleh para direktur perusahaan kepada saya karena begitu banyaknya pilihan yang ada saat ini. Ada cerita menarik sebelum saya menjawab pertanyaan di atas.
Sebuah perusahaan menggunakan jasa konsultan untuk menghadapi berbagai masalah kinerja yang terjadi di perusahaannya. Dalam sesi pertama pertemuan, sang klien bertanya kepada konsultannya, ”Karyawan kami tidak memiliki etos atau semangat kerja yang tinggi, apakah Anda memiliki saran untuk mengatasinya?”
Sang konsultan berpikir sejenak, lalu menjawab, ”Adakan pelatihan motivasi. Character Building atau outbound training bisa dicoba.” Sang klien menyetujuinya. Mereka berinvestasi ratusan juta rupiah untuk menyelenggarakan program pelatihan bagi seluruh karyawannya yang berjumlah 700 orang. Investasi itu membuahkan hasil, ada perubahan dalam cara karyawan bekerja, merekapun lebih mampu bekerja sama dalam sebuah tim.
Tapi kondisi itu hanya berjalan efektif selama dua bulan. Setelah 60 hari kinerja kembali ke titik semula. Bahkan masalah-masalah kinerja yang terjadi semakin banyak. Sang klien kembali memanggil konsultannya dan bertanya, ”Pelatihan tampaknya tidak efektif, karyawan tetap kurang profesional dalam bekerja. Mereka masih memperlakukan pelanggan dalam cara-cara yang buruk. Anda punya solusinya?” Konsultannya tidak segera menjawab. Ia mengatakan, ”Besok saya akan hubungi Anda untuk memberikan solusi yang bisa Anda terapkan.”
Keesokan harinya konsultannya menghubungi,”Saya punya jalan keluar untuk masalah Anda. Sudah saatnya perusahaan Anda untuk menerapkan konsep Service Excellence.” Sang klien setuju dan minta bantuan konsultan untuk menerapkan konsep tersebut. Konsultan menggandeng business partner-nya untuk menerapkan Service Excellence bagi kliennya. Investasinya masih ratusan juta rupiah. Dilakukan upaya perbaikan layanan pelanggan di semua area perusahaan. Bahkan beberapa teknologi baru dibeli untuk memudahkan upaya memuaskan pelanggan.
Setelah penerapan konsep itu, perusahaan tampak lebih baik. Apalagi keramahan staf layanan pelanggan turut mempengaruhi suasana positif dalam perusahaan. Sang klien tampak puas. Kondisi baik itu dinikmatinya selama lebih kurang 6 bulan. Dan setelah itu ia kembali mengeluh kepada konsultannya, ”Layanan pelanggan sudah diperbaiki, mengapa kinerja keuangan perusahaan tetap stagnan?” Sang konsultan tidak langsung menjawab.” Saya minta waktu tiga hari untuk memikirkannya.”
Setelah tiga hari sang konsultan datang dengan wajah optimis, ”Klien saya yang lain memiliki problem yang mirip dengan Anda. Mereka menerapkan Balanced Scorecard dan berhasil membalikkan keadaan.” Dengan nada lemah sang klien bertanya berapa yang harus diinvestasikannya untuk menerapkan pendekatan itu? Konsultan menjawab, ”Anggota tim saya ada yang memiliki pengalaman di bidang itu. Harganya tidak jauh dengan program yang sebelumnya.” Sang klien menjawab, ”Baik, tapi saya tidak ingin gagal lagi.” Sang konsultan meyakinkannya.
Balanced Scorecard dijalankan selama satu tahun di perusahaan tersebut. Terjadi perbaikan kinerja yang cukup signifikan. Tapi belum sampai tiga semester penerapan, kinerja perusahaan kembali menurun. Sang klien merasa bingung dan setengah putus asa. Ia tidak lagi menghubungi konsultannya.
Karena tidak dihubungi lebih dari dua bulan, sang konsultan pun menghubunginya via telepon, ”Bagaimana kondisi perusahaan Anda?” Dengan nada skeptis sang klien menjawab, ”Masalah kinerja kami semakin banyak. Pendapatan menurun drastis. Kami sudah benar-benar tidak memiliki uang saat ini. Kami bersiap-siap akan menjual perusahaan ke pihak lain.” Hening sejenak. Lalu sang konsultan berkata, ”Sayang sekali, padahal masih banyak solusi lain yang ingin saya tawarkan kepada Anda.”
Apa pendapat Anda tentang kisah di atas? Bila Anda di posisi klien, pasti Anda akan kecewa terhadap konsultan Anda. Ia telah menguras uang Anda sembari solusi yang diterapkan tidak memberikan hasil seperti yang Anda harapkan.
Ada pelajaran penting dari kisah sang klien dan konsultannya. Yang pertama, solusi yang diberikan konsultan tidak bersifat integral dan menyeluruh sehingga masalah kinerja terjadi silih berganti di perusahaan kliennya.
Kedua, konsultan memberikan solusi berupa konsep dan instrumen manajemen tapi tidak menyiapkan komitmen pihak manajemen dan karyawan untuk menghadapi perubahan. Bila semua pihak di perusahaan tidak benar-benar siap maka program-program hanya akan menghasilkan perubahan sementara, tidak permanen. Jadi bukan konsep manajemennya yang buruk, tapi persiapan dan komitmen yang lemahlah yang menjadi penyebabnya.